Psikologi manusia
Tatapan Medusa: Menghadapi Ketakutan dan Trauma
Ekhat binti patangun
epatangun@gmail.com
Abstract
Trauma, often likened to the paralyzing gaze of Medusa, profoundly impacts an individual's psychological, emotional, and even neurological well-being, manifesting in various symptoms including anxiety, depression, and cognitive dysfunction. This paper explores a comprehensive strategy for confronting and healing from trauma, emphasizing the crucial roles of "self-compassion" and "mindfulness" in fostering internal resilience. It advocates for a "holistic and comprehensive approach" that integrates diverse therapeutic modalities—such as Cognitive-Behavioral Therapy (CBT) and EMDR—with cultural sensitivity and an understanding of trauma's neurobiological underpinnings. By combining inner work with external support and tailored interventions, individuals can systematically process traumatic experiences, mitigate their pervasive effects, and ultimately reclaim a meaningful and fulfilling life.
Keywords: Trauma,Fear,Trauma Healing,Self-Compassion,Mindfulness,Trauma Therapy,Holistic Approach,Medusa Mythology
Abstrak
Trauma, yang sering disamakan dengan tatapan Medusa yang melumpuhkan, secara mendalam memengaruhi kesejahteraan psikologis, emosional, dan bahkan neurologis individu, bermanifestasi dalam berbagai gejala termasuk kecemasan, depresi, dan disfungsi kognitif.tulisan ini membahas strategi komprehensif untuk menghadapi dan menyembuhkan trauma, menekankan peran krusial "self-compassion" dan "kesadaran diri" dalam membangun ketahanan internal. Ini menganjurkan "pendekatan holistik dan komprehensif" yang mengintegrasikan beragam modalitas terapeutik—seperti Terapi Kognitif-Behavioral (CBT) dan EMDR—dengan sensitivitas budaya dan pemahaman tentang dasar neurobiologis trauma. Dengan menggabungkan kerja internal dengan dukungan eksternal dan intervensi yang disesuaikan, individu dapat secara sistematis memproses pengalaman traumatis, mengurangi efek luasnya, dan pada akhirnya mendapatkan kembali kehidupan yang bermakna dan memuaskan.
Kata kunci:Trauma,Ketakutan,Penyembuhan Trauma,Self-Compassion,Kesadaran Diri (Mindfulness),Terapi Trauma,Pendekatan Holistik,Mitologi Medusa
Latar belakang
Medusa, sosok dari mitologi Yunani, telah menjadi simbol ketakutan dan trauma dalam berbagai budaya. Menurut Karl Kerenyi, seorang ahli mitologi Yunani, Medusa merupakan representasi dari kekuatan feminin yang berbahaya dan tidak terkendali. Dalam mitologi Yunani, Medusa digambarkan sebagai monster dengan rambut ular dan tatapan yang bisa mengubah orang menjadi batu.
Trauma, seperti tatapan Medusa, dapat membekukan kehidupan seseorang dan membuatnya merasa tidak berdaya. Menurut American Psychological Association (APA), trauma adalah respons emosional yang kuat terhadap peristiwa yang mengancam atau berbahaya. Trauma dapat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan, termasuk hubungan sosial, pekerjaan, dan kesehatan mental.
Penelitian telah menunjukkan bahwa trauma dapat mempengaruhi struktur dan fungsi otak, terutama pada area yang terkait dengan regulasi emosi dan memori. Menurut Dr. Bessel van der Kolk, seorang ahli trauma, pengalaman traumatis dapat "mengukir" dirinya dalam otak dan mempengaruhi perilaku dan emosi seseorang.
Menghadapi ketakutan dan trauma memerlukan keberanian dan dukungan. Terapi kognitif-behavioral (CBT) dan terapi trauma lainnya dapat membantu seseorang mengatasi gejala trauma dan meningkatkan kualitas hidup. Menurut Dr. Marsha Linehan, seorang ahli psikologi, mindfulness dan penerimaan diri dapat membantu seseorang menghadapi ketakutan dan trauma dengan lebih efektif.
Namun, menghadapi ketakutan dan trauma tidaklah mudah. Banyak orang yang mengalami trauma merasa tidak siap atau tidak mampu menghadapi ketakutan mereka. Oleh karena itu, penting untuk memiliki dukungan sosial yang kuat dan akses ke sumber daya yang tepat.
Dalam beberapa tahun terakhir, penelitian tentang trauma telah berkembang pesat. Menurut Dr. Judith Herman, seorang ahli trauma, memahami trauma dan dampaknya dapat membantu kita mengembangkan strategi yang lebih efektif untuk mengatasi gejala trauma.
Menghadapi ketakutan dan trauma juga memerlukan kesadaran diri dan penerimaan diri. Menurut Dr. Kristin Neff, seorang ahli psikologi, self-compassion dapat membantu seseorang menghadapi ketakutan dan trauma dengan lebih baik.
Dalam konteks budaya Indonesia, trauma dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti kepercayaan dan nilai-nilai budaya. Menurut Dr. Imam Rusydi, seorang ahli psikologi, memahami konteks budaya dapat membantu kita mengembangkan strategi yang lebih efektif untuk mengatasi gejala trauma.
Dengan demikian, menghadapi ketakutan dan trauma memerlukan pendekatan yang holistik dan komprehensif. Dengan memahami kompleksitas trauma dan dampaknya, kita dapat mengembangkan strategi yang lebih efektif untuk mengatasi gejala trauma dan meningkatkan kualitas hidup.
Pembahasan
Trauma dapat diartikan sebagai respons emosional yang mendalam terhadap suatu peristiwa yang sangat meresahkan atau mengganggu. Peristiwa ini seringkali melibatkan ancaman serius terhadap keselamatan diri atau orang lain, dan dapat memicu perasaan tidak berdaya, takut, atau ngeri yang luar biasa. Contohnya bisa berupa kecelakaan parah, bencana alam, kekerasan, atau pengalaman yang secara psikologis sangat membebani. Dampak dari pengalaman traumatis tidak hanya terbatas pada respons langsung saat kejadian, tetapi juga dapat terus memengaruhi individu dalam jangka waktu yang panjang.
Menurut American Psychological Association (APA), trauma didefinisikan sebagai "respons emosional terhadap peristiwa mengerikan seperti kecelakaan, pemerkosaan, atau bencana alam". Definisi ini menekankan bahwa trauma bukanlah peristiwa itu sendiri, melainkan reaksi internal individu terhadap peristiwa tersebut. Artinya, tidak semua orang akan mengalami trauma meskipun dihadapkan pada kejadian yang sama. Faktor-faktor seperti dukungan sosial, ketahanan individu, dan pengalaman masa lalu dapat memengaruhi bagaimana seseorang memproses dan merespons peristiwa yang berpotensi traumatis.
Dampak trauma dapat bermanifestasi dalam berbagai aspek kehidupan seseorang. Secara emosional, individu mungkin mengalami kecemasan yang persisten, serangan panik, depresi, atau kesulitan dalam mengatur emosi. Mereka mungkin juga menunjukkan gejala seperti flashback atau mimpi buruk yang berulang mengenai peristiwa traumatis, yang membuat mereka merasa seolah-olah mengalami kembali kejadian tersebut. Perasaan mati rasa atau detasemen juga bisa muncul sebagai mekanisme pertahanan diri.
Selain dampak emosional, trauma juga dapat memengaruhi fungsi kognitif dan perilaku. Individu yang mengalami trauma mungkin kesulitan untuk berkonsentrasi, memiliki masalah memori, atau merasa sulit untuk mengambil keputusan. Dalam hal perilaku, mereka mungkin menjadi mudah tersinggung, menarik diri dari lingkungan sosial, atau menghindari situasi, tempat, atau orang yang mengingatkan mereka pada peristiwa traumatis. Perubahan pola tidur dan nafsu makan juga seringkali menjadi indikator adanya trauma yang belum terselesaikan.
Secara keseluruhan, trauma memiliki potensi untuk mengganggu secara signifikan kualitas hidup seseorang di berbagai tingkatan. Dari hubungan interpersonal hingga kinerja di tempat kerja atau sekolah, individu yang tidak mendapatkan penanganan yang tepat mungkin menghadapi tantangan besar dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, penting untuk mengenali tanda-tanda trauma dan mencari bantuan profesional, seperti terapi atau konseling, untuk memproses pengalaman tersebut dan mengembangkan strategi penanganan yang sehat guna meminimalkan dampak jangka panjangnya.
Menghadapi ketakutan dan trauma adalah perjalanan yang membutuhkan keberanian serta dukungan yang kuat. Keberanian di sini bukan berarti absennya rasa takut, melainkan kemampuan untuk bertindak meskipun rasa takut itu ada. Proses ini seringkali tidak dapat dilakukan sendirian. Dukungan dari lingkungan terdekat, baik itu keluarga, teman, atau kelompok dukungan, memainkan peran krusial dalam memberikan rasa aman, validasi, dan dorongan. Kehadiran orang-orang yang memahami dan peduli dapat menjadi fondasi penting bagi individu yang sedang berjuang untuk memproses pengalaman traumatis dan melangkah maju.
Salah satu pendekatan terapeutik yang efektif dalam menangani ketakutan dan trauma adalah Terapi Kognitif-Behavioral (CBT). CBT berfokus pada identifikasi dan perubahan pola pikir serta perilaku yang tidak sehat yang muncul sebagai respons terhadap trauma. Melalui CBT, individu diajarkan untuk mengenali distorsi kognitif yang terkait dengan trauma, seperti menyalahkan diri sendiri atau melihat dunia sebagai tempat yang sepenuhnya tidak aman. Selain CBT, terdapat juga terapi trauma lainnya yang spesifik, seperti Eye Movement Desensitization and Reprocessing (EMDR), yang membantu individu memproses ingatan traumatis dengan cara yang tidak terlalu mengganggu. Terapi-terapi ini memberikan alat dan strategi yang terstruktur untuk mengatasi gejala trauma dan membangun kembali fungsi adaptif.
Selain pendekatan klinis, praktik mindfulness dan penerimaan diri juga merupakan komponen penting dalam proses penyembuhan trauma. Mindfulness melibatkan latihan untuk hadir sepenuhnya di momen sekarang, tanpa menghakimi pikiran atau perasaan yang muncul. Melalui mindfulness, individu dapat mengembangkan kapasitas untuk mengamati sensasi tubuh, emosi, dan pikiran yang terkait dengan trauma tanpa harus larut di dalamnya. Hal ini membantu mengurangi reaktivitas emosional dan meningkatkan kesadaran diri.
Penerimaan diri, di sisi lain, adalah proses mengakui dan menerima pengalaman traumatis serta dampaknya terhadap diri sendiri, tanpa penolakan atau penilaian negatif. Ini bukan berarti menyetujui peristiwa traumatis, tetapi lebih kepada menerima realitas bahwa peristiwa itu telah terjadi dan telah membentuk sebagian dari diri individu. Dengan penerimaan diri, individu dapat mulai melepaskan beban rasa malu, bersalah, atau menyalahkan diri sendiri yang seringkali menyertai trauma, membuka jalan bagi penyembuhan yang lebih mendalam.
Secara keseluruhan, perjalanan menghadapi ketakutan dan trauma adalah kombinasi dari keberanian pribadi dan bantuan profesional. Dengan dukungan yang tepat, seperti melalui terapi kognitif-behavioral dan terapi trauma lainnya, serta praktik mindfulness dan penerimaan diri, individu dapat belajar mengelola gejala, memproses pengalaman masa lalu, dan pada akhirnya menemukan kembali kekuatan serta ketahanan dalam diri mereka untuk membangun kehidupan yang lebih bermakna. Ini adalah bukti bahwa penyembuhan dari trauma, meskipun sulit, sangat mungkin terjadi.
Faktor yang memengaruhi dampak trauma sangatlah beragam, mulai dari konteks budaya dan sosial hingga respons biologis di dalam otak. Interaksi kompleks antara elemen-elemen ini menentukan bagaimana seseorang mengalami, memproses, dan pada akhirnya menyembuhkan diri dari pengalaman traumatis. Memahami faktor-faktor ini krusial untuk memberikan dukungan dan intervensi yang efektif.
Faktor Budaya dan Sosial
Faktor budaya dan sosial memiliki pengaruh signifikan terhadap manifestasi dan penanganan trauma. Dalam beberapa budaya, ada stigma yang kuat terkait dengan isu kesehatan mental, termasuk trauma, yang dapat menghalangi individu untuk mencari bantuan atau berbicara terbuka tentang pengalaman mereka. Norma-norma budaya yang menekankan ketahanan atau "menjaga kehormatan" juga bisa membuat seseorang merasa malu atau bersalah atas respons alami mereka terhadap trauma, sehingga memperparah penderitaan. Selain itu, dukungan sosial yang diterima seseorang setelah peristiwa traumatis sangat penting. Individu yang memiliki jaringan dukungan yang kuat—baik itu keluarga, teman, atau komunitas—cenderung memiliki prognosis yang lebih baik dalam pemulihan, karena dukungan ini memberikan rasa aman, validasi, dan sumber daya untuk mengatasi kesulitan.
Kesenjangan sosial-ekonomi juga dapat menjadi faktor yang memperburuk dampak trauma. Individu yang hidup dalam kemiskinan atau menghadapi diskriminasi mungkin memiliki akses terbatas terhadap layanan kesehatan, dukungan psikologis, atau sumber daya lain yang diperlukan untuk penyembuhan. Lingkungan yang tidak stabil, seperti daerah konflik atau komunitas dengan tingkat kejahatan tinggi, secara inheren meningkatkan risiko terjadinya trauma berulang, menciptakan siklus penderitaan yang sulit diputus. Oleh karena itu, memahami konteks sosial budaya seseorang adalah langkah awal yang penting dalam memberikan pendekatan penanganan trauma yang holistik dan peka budaya.
Pengalaman Traumatis dan Dampaknya pada Otak
Pengalaman traumatis dapat meninggalkan jejak yang mendalam pada otak, mengubah struktur dan fungsi area-area tertentu yang terlibat dalam emosi, memori, dan regulasi stres. Salah satu area yang paling terpengaruh adalah amigdala, bagian otak yang bertanggung jawab untuk memproses emosi, terutama rasa takut. Pada individu yang mengalami trauma, amigdala dapat menjadi hipereaktif, menyebabkan respons rasa takut yang berlebihan bahkan terhadap pemicu yang tidak mengancam. Ini menjelaskan mengapa seseorang dengan trauma mungkin mudah terkejut atau mengalami kecemasan yang konstan.
Selain amigdala, korteks prefrontal medial, yang berperan dalam regulasi emosi dan pengambilan keputusan, juga dapat terpengaruh. Aktivitas yang menurun di area ini dapat menjelaskan mengapa individu yang trauma seringkali kesulitan dalam mengendalikan impuls atau mengatur respons emosional mereka. Area lain yang penting adalah hipokampus, yang terlibat dalam pembentukan dan pengambilan memori. Trauma dapat menyebabkan penyusutan pada hipokampus, yang mungkin berkontribusi pada kesulitan memori, flashback, atau perasaan dissosiasi yang sering dialami korban trauma.
Perubahan neurobiologis ini seringkali diperparah oleh disregulasi pada sumbu hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA), sistem utama respons stres tubuh. Stres traumatis dapat menyebabkan produksi hormon stres, seperti kortisol, yang tidak teratur, yang pada gilirannya dapat memengaruhi berbagai sistem tubuh dan memicu berbagai gejala fisik dan psikologis. Disregulasi HPA inilah yang berkontribusi pada gejala seperti kelelahan kronis, masalah tidur, dan masalah pencernaan yang sering menyertai trauma.
Singkatnya, trauma tidak hanya memengaruhi pikiran dan emosi seseorang, tetapi juga secara fundamental mengubah biologi otak. Perubahan ini memengaruhi bagaimana individu memproses informasi, merespons stres, dan berinteraksi dengan dunia di sekitar mereka. Memahami dampak neurologis trauma ini sangat penting untuk mengembangkan intervensi yang menargetkan akar masalah dan memfasilitasi pemulihan yang komprehensif Dengan menggabungkan pemahaman tentang faktor sosial-budaya dan neurologis, kita dapat memberikan dukungan yang lebih tepat sasaran bagi mereka yang berjuang melawan dampak trauma.
Mengatasi trauma merupakan perjalanan yang kompleks dan seringkali panjang, membutuhkan pendekatan yang cermat dan berkesinambungan. Dua pilar utama yang fundamental dalam proses penyembuhan ini adalah self-compassion dan kesadaran diri, serta pendekatan holistik dan komprehensif. Kombinasi keduanya membentuk fondasi yang kokoh untuk membantu individu memproses pengalaman traumatis dan membangun kembali kehidupan yang lebih utuh.
Self-compassion atau welas asih pada diri sendiri, memainkan peran krusial dalam meredakan beban emosional akibat trauma. Ini melibatkan perlakuan terhadap diri sendiri dengan kebaikan, pengertian, dan tanpa penghakiman, terutama saat menghadapi kesulitan atau penderitaan. Ketika seseorang mengalami trauma, seringkali muncul rasa bersalah, malu, atau menyalahkan diri sendiri. Self-compassion membantu melawan pola pikir negatif ini, menciptakan ruang aman bagi individu untuk merasakan emosi mereka tanpa tambahan tekanan internal.
Sejalan dengan self-compassion, kesadaran diri (mindfulness) memungkinkan individu untuk mengamati pikiran, perasaan, dan sensasi tubuh mereka di masa kini tanpa terhanyut olehnya. Praktik kesadaran diri dapat membantu individu mengenali pemicu trauma dan respons otomatis yang mungkin muncul, memberikan kesempatan untuk merespons dengan lebih sadar daripada bereaksi secara impulsif. Dengan demikian, kesadaran diri tidak hanya membantu dalam mengidentifikasi pola-pola yang berkaitan dengan trauma tetapi juga dalam menciptakan jarak yang sehat antara individu dan pengalaman traumatis tersebut.
Selanjutnya, pendekatan holistik mengakui bahwa trauma memengaruhi berbagai aspek kehidupan seseorang, tidak hanya secara psikologis tetapi juga fisik, emosional, sosial, dan spiritual. Oleh karena itu, strategi penanganan trauma harus mencakup intervensi yang menargetkan semua dimensi ini. Ini bisa berarti mengintegrasikan terapi bicara dengan praktik-praktik seperti yoga, meditasi, atau terapi seni, yang dapat membantu melepaskan ketegangan fisik dan emosional yang terperangkap dalam tubuh akibat trauma.
Pendekatan ini juga harus komprehensif, artinya melibatkan berbagai modalitas dan profesional yang berbeda sesuai dengan kebutuhan individu. Ini bisa mencakup dukungan dari terapis, psikiater, kelompok dukungan, serta ahli gizi atau spesialis kesehatan fisik lainnya jika diperlukan. Kerjasama antar profesional memastikan bahwa setiap aspek dari dampak trauma ditangani secara memadai, menciptakan jaring pengaman yang kuat bagi individu yang sedang dalam proses pemulihan.
Integrasi antara self-compassion, kesadaran diri, dan pendekatan holistik-komprehensif menciptakan kerangka kerja yang kuat untuk penyembuhan trauma. Self-compassion dan kesadaran diri membentuk dasar internal yang memungkinkan individu untuk menghadapi luka mereka dengan kebaikan dan kehadiran. Sementara itu, pendekatan holistik dan komprehensif memastikan bahwa dukungan eksternal yang diperlukan tersedia dan disesuaikan untuk mengatasi dampak trauma secara menyeluruh.
Penting untuk diingat bahwa proses penyembuhan trauma tidak linear. Akan ada hari-hari baik dan buruk. Namun, dengan menerapkan strategi yang berpusat pada self-compassion, kesadaran diri, dan pendekatan yang menyeluruh, individu dapat secara bertahap membangun kembali kapasitas mereka untuk menjalani kehidupan yang bermakna dan memulihkan diri dari dampak trauma yang menghancurkan.
Kesimpulan
Trauma, layaknya tatapan Medusa, memiliki kekuatan membekukan yang melumpuhkan kehidupan seseorang, meninggalkan jejak mendalam pada pikiran, emosi, dan bahkan struktur otak. Fenomena ini bukan sekadar respons emosional sesaat, melainkan suatu pengalaman yang mengubah individu secara fundamental. Dampak trauma merambah seluruh aspek kehidupan, mulai dari kesehatan mental dan fisik, hingga hubungan sosial dan fungsi kognitif, seringkali menyebabkan gejala seperti kecemasan, depresi, masalah memori, dan kesulitan regulasi emosi. Memahami kompleksitas trauma, baik dari perspektif psikologis, neurologis, maupun sosiokultural, adalah langkah awal krusial untuk menghadapi dan memulihkan diri dari belenggu tersebut.
Menghadapi ketakutan dan trauma bukanlah perjalanan yang mudah, namun sangat mungkin dilakukan dengan keberanian dan dukungan yang tepat. Pendekatan terapeutik seperti "Terapi Kognitif-Behavioral (CBT)" dan "EMDR" menawarkan kerangka kerja terstruktur untuk memproses ingatan traumatis dan mengubah pola pikir disfungsional. Seiring dengan intervensi klinis, praktik "mindfulness" dan "penerimaan diri" memegang peranan vital dalam membantu individu mengamati pengalaman internal tanpa penghakiman, serta menerima realitas dampak trauma pada diri mereka. Elemen-elemen ini memberdayakan individu untuk mengembangkan strategi koping yang sehat, mengurangi reaktivitas emosional, dan secara bertahap membangun kembali kontrol atas hidup mereka.
Pada akhirnya, penyembuhan trauma menuntut pendekatan yang "holistik dan komprehensif", mengakui bahwa trauma memengaruhi berbagai dimensi kehidupan. Ini berarti menggabungkan dukungan profesional dengan praktik "self-compassion" atau welas asih terhadap diri sendiri, serta memanfaatkan dukungan sosial yang kuat. Memahami dan mengatasi faktor budaya serta dampak neurobiologis trauma pada otak juga esensial untuk intervensi yang lebih efektif dan peka. Dengan kombinasi strategi ini, individu dapat secara bertahap memutus rantai pembekuan "tatapan Medusa," membangun kembali kapasitas mereka untuk menjalani kehidupan yang bermakna, dan menemukan kembali ketahanan serta kekuatan yang tersembunyi dalam diri.
Daftar pustaka
American Psychological Association. (n.d.). Trauma. Diperoleh dari [https://www.apa.org/topics/trauma]
Beck, J. S. (2011). Cognitive Behavior Therapy: Basics and Beyond. The Guilford Press.
Bremner, J. D. (2006). Stress and Brain Atrophy. CNS & Neurological Disorders - Drug Targets, 5 (2), 147-153.
Bremner, J. D. (2006). Traumatic stress: Effects on the hippocampus and beyond. Dialogues in Clinical Neuroscience, 8 (4), 471-477.
Brewin, C. R. (2001). A cognitive neuroscience account of posttraumatic stress disorder. Psychological Medicine, 31 (5), 771-783.
Bulfinch, T. (1855). Greek and Roman Mythology. Modern Library.
Cohen, J. A., Mannarino, A. P., & Deblinger, E. (2012). Trauma-Focused Cognitive Behavioral Therapy for Traumatized Children. Guilford Press.
Germer, C. K. (2009). The mindful path to self-compassion: Freeing yourself from destructive thoughts and emotions. Guilford Press.
Hayes, S. C., Strosahl, K. D., & Wilson, K. G. (1999). Acceptance and Commitment Therapy: An Experiential Approach to Behavior Change. The Guilford Press.
Herman, J. L. (1992). Trauma and Recovery. Basic Books.
Herman, J. L. (1997). Trauma and Recovery: The Aftermath of Violence—From Domestic Abuse to Political Terror. Basic Books.
Hobfoll, S. E., Watson, P., Bell, C. C., Bryant, R. A., Brymer, M. J., Friedman, M. J., ... & Ursano, R. J. (2007). Five essential elements of immediate and mid-term mass trauma intervention: empirical evidence. Psychiatry: Interpersonal and Biological Processes, 70 (4), 283-311.
Kabat-Zinn, J. (1990). Full catastrophe living: Using the wisdom of your body and mind to face stress, pain, and illness. Delta.
Kabat-Zinn, J. (2013). Full Catastrophe Living (Revised Edition): Using the Wisdom of Your Body and Mind to Face Stress, Pain, and Illness. Bantam Books.
Kerenyi, K. (1959). The Heroes of the Greeks. Thames & Hudson.
Kirmayer, L. J. (2007). Psychotherapy and the cultural shaping of the self. Annual Review of Clinical Psychology, 3, 321-346.
LeDoux, J. E. (2000). Emotion circuits in the brain. *Annual Review of Neuroscience, 23(1), 155-184.
Linehan, M. M. (1993). Cognitive-Behavioral Treatment of Borderline Personality Disorder. Guilford Press.
Marsella, A. J., & Christopher, M. (2004). Ethnocultural Considerations in the Assessment and Treatment of Posttraumatic Stress Disorder. Dalam J. P. Wilson & T. M. Keane (Eds.), Assessing Psychological Trauma and PTSD (hal. 529-555). Guilford Press.
Neff, K. (2003). Self-compassion: An alternative conceptualization of a healthy attitude toward oneself. Self and Identity, 2(2), 85-101.
Neff, K. D. (2011). Self-Compassion: An Alternative Conceptualization of Positive Self-Regard. Psychological Inquiry, 22(4), 1-7.
Norris, F. H., Stevens, S. P., Pfefferbaum, B., Wyche, K. F., & Pfefferbaum, R. L. (2008). Community resilience as a metaphor, theory, set of capacities, and strategy for disaster readiness. American Journal of Community Psychology, 41(1-2), 127-150.
Ogden, P., Minton, K., & Pain, C. (2006). Trauma and the body: A sensorimotor psychotherapy approach. W. W. Norton & Company.
Rothschild, B. (2017). The body remembers: The psychophysiology of trauma and trauma treatment. W. W. Norton & Company.
Rusydi, I. (2018). Psikologi Klinis Islam. Penerbit Andi.
Sapolsky, R. M. (2004). Why Zebras Don't Get Ulcers: The Updated and Expanded Edition. Times Books.
Shapiro, F. (2018). Eye Movement Desensitization and Reprocessing (EMDR) Therapy, Third Edition: Basic Principles, Protocols, and Procedures. The Guilford Press.
Shin, L. M., & Liberzon, I. (2010). The neurocircuitry of fear, stress, and anxiety disorders. Neuropsychopharmacology, 35(1), 169-191.
Siegel, D. J. (2010). Mindfulness and neural integration. Norton.
van der Kolk, B. A. (2014). The Body Keeps the Score. Penguin Books.
Van der Kolk, B. A. (2014). The Body Keeps the Score: Brain, Mind, and Body in the Healing of Trauma. Viking.
Komentar